Sejarah Indonesia Kuno

CANDI JAGO

Candi Jago terletak didusun jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, wilayah Kabupaten Malang.Masyarakat sekitarnya atau penduduk lokal menyebut candi ini dengan sebutan tradisi ialah “cungkup” yang maksudnya adalah, suatu bentuk bangunan yang dikeramatkan. Dan yang lebih umum disebut Candi Jago. Namun nama atau sebutan candi ini adalah “jajaghu” yang tertulis di dalam dua kitab kuna, yaitu kitab Pararaton dan Kitab Sastra kuna Nagarakertagama. Arti dari jajaghu ialah penyebutan dari suatu nama tempat suci, atau dapat juga diartikan dengan istilah “Keagungan”. Candi ini dibangun oleh Raja Kertanegara untuk ayahnya, Raja Jaya Wisnuwardhana dari Singasari (1275-1300).
A.      Pendirian Candi Jago
Didalam kitab sastra kuna nagarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yaitu Raja singasari ke 4 meninggal dunia pada tahun 1268 Masehi, kemudian beliau dicandikan (didarmakan) didua tempat yaitu;
1.      Dicandikan Waleri (Blitar) sebagai Hindu atau Ciwa
2.      Dicandi Jajaghu (jago) sebagai Budha.
Dari keterangan tersebut dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Raja Wisnuwardhana menganut suatu agama dari percampuran dua unsur agama tersebut (Sinkritisme), yaitu agama Hindhu Budha atau Ciwa Budha dalam aliran Tantrayana. Agama ini berkembang dan dianut pada masa kerajaan Singhasari terakhir. Proses percampuran dan penyatuan dua agama tersebut yaitu Hindhu dan Budha yang berkembang karena pemahaman yang mendalam serta kristalisasi perkembangan agama dikerajaan Singhasari dimana raja Wisnuwardhana menyadari bahwa dua agama tersebut memiliki tujuan mulia yang sama. Dilain pihak raja Wisnuwardhana berusaha mewujudkan suasana tata tentrem kerta raharja tanpa adanya suatu persaingan yang signifikan diantara kedua agama tersebut serta diantara para pemeluknya/ pengikutnya.
Dapat diperkirakan peresmian candi jago inipada tahun 1280 M, yang bersamaaan dengan diadakannya upacara Cradha ( pelepasan roh dari dunia berselang 12 tahun setelah meninggalnya). Adanya pahatan Padma (Bunga Teratai) yang keluar dari bongkolnya serta menjulur keatas pada stela arcanya, hal ini merupakan ciri khas seni pada masa kerajaan Singasari. Namun perlu diingat bahwa dari kebiasaan raja-raja zaman dahulu dalam masa pemerintahannya sering melakukan perubahan terhadap candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya atau leluhurnya. Dengan kenyataan seperti ini kita sering dihadapkan pada masalah yang berhubungan dengan pendirian bangunan suci atau candi. Hal ini berlaku juga dengan bangunan candi jago (jajaghu).

B.       Pemugaran Candi Jago
Candi Jago (jajaghu) yang sekarang ini pernah mengalami perubahan/ pemugaran yang diperlebar dan diperindah pada masa kejayaan majapahit, sekitar tahun 1343 M. Dan sebagai Arsiteknya kala itu adalah Arya Dewaraja Mpu Aditya atau yang lebih dikenal dengan nama Adityawarman. Hal ini dibuktikan dengan adanya arca Bhairawa yang pernah ada dicandi jago ini (hilang dicuri tahun 2001), sebagai arca perwujudan Adityawarman sebagai pelindung dan arsitektur candi jago, ketika masih berstatus maharajadiraja dikerajaan majapahit. Setelah kembali ketanah kelahirannya dan berstatus maharajadiraja diSwarnadwipa, kemudian Raja Adityawarman membuat sebuah arca Bhairawa yang mirip seperti candi jago, tetapi ukurannya lebih besar yang di Jambi.
C.      Bentuk dan Susunan Candi Jago
Candi jago (jajaghu) mempunyai bentuk yang unik jika dibandingkan dengan bentuk bangunan candi-candi lain. Kaki candi terdiri dari tiga tingkat, tingkat pertama terdapat delapan anak tangga, tingkat kedua terdapat empat belas anak tangga, dan tingkat ketiga terdapat tujuh anak tangga. Kemungkinan candi ini dahulunya memakai atap yang terbuat dari kayu dan ijuk yang berbentuk meru, sebagaimana seperti atap pura-pura di bali. Hal ini ditunjukkan pada salah satu pahatan relief yang menceritakan Parthayadnya (Mahabarata) pada teras kedua sebelah timur pada bagian sisi tengah.
Bangunan candi ini didirikan diatas kaki candi yang terdiri dari tiga tingkat yang masing-masing tingkatnya mempunyai teras, teras tersebut makin keatas makin mengecil serta bergeser kebelakang, sehingga masing-masing tingkatannya juga mempunyai selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candinya. Teras yang terpenting dan paling suci terletak paling atas dan paling kecil serta bergeser kebelakang. Bangunan candi dengan pola semacam ini, mengingatkan kita pada bentuk serta susunan bangunan pada masa “meghalitikum”, yaitu salah satu bangunan pada masa itu yang disebut “punden berundak”. Bangunan semacam ini yang mempunyai fungsi sebagai tempat pemujaan roh para leluhur. Tetapi yang perlu diingat bahwa bangunan candi yang seperti ini untuk pertama kalinya, sangat nampak menunjukkan aliran local indonesia asli.
Candi Jago (Jajaghu) ini panjangnya 24 meter, lebar 14 meter, dan tinggi sekarang 10,5 meter, sedangkan diperkirakan tinggi aslinya 17,5 meter. Bahan bangunan candinya terbuat dari jenis batu Andesit (Batu Gunung). Arah hadap candi jago ini adalah kebarat. Arah hadap kebarat tersebut dimungkinkan oleh para seniman dahulu berorientasi pada pembuatan monument Megalitik, karena arah tersebut mengarah pada puncak gunung. Yang jelas dapat diketahui bahwa dalam era periode jawa timur memang banyak dijumpai adanya penyimpangan, hal ini terutama sekali yang berhubungan dengan keagamaan yang secara tidak langsung berakibat pula pada bangunannya. Khususnya bangunan candi atau bangunan suci.

D.      Relief Pada Candi Jago (Jajaghu)
Relief yang terdapat pada Candi Jago sebagian sudah banyak mengalami kerusakan. Terlihat adanya corak tertentu yang yang menandai identitasnya sebagai hasil karya seni Jawa Timur yang menunjujan corak dekoratif dan simbolis. Bentuk gambaran tokohnya agak kaku seperti wayang kulit atau wayang Purwa (Dua Dimensi). Sedangkan corak lain yang dimiliki candi ini masih tentang penggambaran relief-reliefnya yang terpahat dalam setiap panelnya tiada satupun bidang yang kosong terlihat sangat padat, semua terisi dengan aneka ragam hias dalam alunan cerita yang mengandung unsur Pelepasan. Hal ini sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup maupun suasana kehidupan yang terjalin erat dengan lingkungan alam sekitarnya di kala itu.
Secara umum relief candi ini dipahatkan pada bagian dinding candi yang mudah dilihat, karena keberadaan relief – reliefnya itu merupakan pelengkap dan refleksi dari aspek keagamaan yang terdapat pada bangunan candi itu sendiri dan yang dianut oleh masyarakat pada waktu itu, juga berasal dari karya sastra yang popular pada masa itu, serta sejarah kehidupan tokoh yang menjadi objek Pemujaan. Relief Candi ini banyak menyimpan makna dan pesan yang sangat mendalam. Bukan sekedar bentuk karya seni tanpa arti, didalamnya tersimpan sejuta pesan terutama soal Pendidikan Budi Pekerti. Juga sebagai media komunikasi pesan itu mudah dipahami pada jamannya, tepat sasran, serta tidak menyinggung harga diri Manusia.
Sesuai dengan agama yang dianut oleh raja Wisnuwardana yaitu Ciwa Budha atau Hindu Budha, maka pada candi Jago ini terdapat pula pahatan relief yang dapat menunjukkan dua sifat dari agama tersebut, yaitu:
1.        Relief yang bersifat Budhistis:
a.       Relief dalam cerita Binatang atau Tantri (Fabel)
b.      Relief dalam cerita Ari Dharma atau Angling Dharma
c.       Relief dalam cerita Kunjarakarna
2.    Relief yang bersifat Hiduistis:
a.       Relief dalam cerita Parthayadnya (Mahabrata)
b.      Relief dalam cerita Arjuna Wiwaha (Mahabrata)
c.       Relief dalam cerita Kresnayana (Mahabrata)
Cerita relief dengan judul tersebut diatas yang terpahat pada dinding candi , kesemuanya terjalin sangat harmonis dalam satu kesatuan, khususnya pada cerita binatang (Tantri). Relief Tantri merupakan sebuah cerita yang digambarkan dalam bentuk Binatang dimana dalam cerita tersebut terdapat pesan tersembunyi yang ingin disampaikan kepada para pembaca reliefnya. Relief cerita Tantri ini berisi tentang pembelajaran Moral dan Kebijaksanaan, termasuk di dalamnya adalah mengenai hukum Manusia. Pada masa lalu fungsi dari cerita Tantri adalah sebagai suatu  sarana pembelajaran kebijakan dan moral kepada Pangeran yang akan menjadi raja dengan tujuan Sang Pangeran mampu memimpin kerajaan menjadi besar dan hebat. Sehingga dapaat diartikan bahwa candi bukan saja difungsikan sebagai tempat pemujaan atau pendarmaan, tetapi juga sebagai sarana Pendidikan/Pembelajaran.
Pada relief yang menceritakan Kunjarakarna adalah suatu cerita yang diangkat dari cerita berunsur Budha, namun dalam penggambarannya sama sekali tidak terikat sepenuhnya oleh dogma-dogma ajaran Budha. Seperti Sri Wairucana (Dhyani Budha) diujudkan bertangan empat dan dilengkapi dengan atribut-atribut Ciwa. Sedang tanda ongkara bermunculan disekitarnya. Para pertapa digambarkan memakai Topi berbentuk “tekes” yang lazim dikenakan para panji. Dan para Yugiswara terlihat mengenakan “surban”. Para pangeran dipahatkan memakai “suipit urang”, sedang tokoh rajanya terlihat mengenakan “gelung keling”, dan Punakawan-Punakawan ini diujudkan dalam bentuk yang gemuk pendek penuh dengan kekocakan, serta kurang ajar, namun cerdik dan penuh kasih sayang. Guna memeriahkan suasana serta menjiwai lingkungannya, peranan “hanja-hanja jhana” turut ditampilkan. Hal tersebut adalah pengetahuan tentang Hantu-Hantu, guna melengkapi seluruh jiwa perpaduan Ciwa Budha pada masa itu.
Cerita Kunjarakarna mengandung suatu tema ajaran Kebatinan dalam usaha Manusia mencapai kesempurnaan hidup. Cerita semacam ini biasanya lebih menitik beratkan pada isinya yang berupa Wejangan atau Ajaran-Ajaran yang bersifat “Mistik Filosofik” atau “Megik Relijius”. Jadi dapat disimpulkan bahwa Raja Wisnuwardana adalah “Sang Penyelamat”.
Sementara cerita Parthayadnya dan arjuna Wiwaha yang bertitik pangkal pada tokoh dari bagian cerita kitab Mahabrata, menggambarkan Arjuna sebagai “Inkarnasi” Dewa Wisnu, adalah sebagai tokoh kunci kemenangan dari perang saudara antara Pandawa dan Kurawa yang akhirnya mewujudkan Kebahagiaan dan Perdamaian.
Adapun deskripsi cerita mengenai relief yang terdapat pada Candi Jago ;
a.      Relief dalam cerita Binatang atau Tantri (Fabel)
Dari beberapa cerita Binatang (Tantri) yang terpahat pada dinding candi, terdapat salah satu relief yang sangat populer yaitu relief yang menggambarkan adegan seekor Burung Bangau yang membawa terbang dua ekor kura-kura. Kura-kura tersebut dipahatkan dalam posisi menggantung dengan cara menggigit pada masing – masing ujung tongkat kayu yang mana tengahnya dipatuk oleh burung Bangau dan membawa terbang kedua kura-kura tersebut.
Pada masa laulu diceritakan bahwa para binatang yang hidup dibumi menjalin persahabatan yang sangat akrab, termasuk diantaranya dua ekor kura-kura dengan seekor burung Bangau yang hidup di sebuah telaga yang melimpah airnya. Namun ketentraman itu dimanfaatkan dengan tidak baik oleh kedua ekor kura-kura tersebut, dikarenakan sifatnya yang sombong dan serba tidak puas dengan apa yang ada dan apa yang dimilikinya. Akhirnya timbul niat jelek si kura-kura kepada sahabatnya yaitu si burung Bangau.
b.      Relief dalam cerita Ari Dharma atau Angling Dharma
Cerita relief Ari Dharma atau Angling Dharma ini diawali dari sisi sudut barat daya pada dinding bawah teras pertama. Relief ini menceritakan perjalanan prabu Ari Dharma sedang melakukan hobbynya yaitu berburu dihutan. Lalu bertemu dan melihat Naga Gini istri Naga Raja yang kesepian ditinggal suaminya Naga Raja bertapa, sedang berbuat zina, bercumbu rayu dengan ular biasa yaitu ular tampar. Melihaat peristiwa itu Ari Dharma marah, karena perbuatan Naga Gini itu melanggar tatanan dan asusila karena akan merusak keturunan. Lalu dibunuhlah ular tampar itu, sayang senjata Ari Dharma mengenai ekor Naga Gini. Naga Gini kesakitan dan pergi dengan membawa rasa sakit hati. Setelah tiba dikediamannya ia mengadu dan melaporkan perlakuan Ari Dharma kepada suaminya Naga Raja. Tetapi aduan naga Gini justru kebalikan dari peristiwa yang sebenarnya yaitu memfitnah Ari Dharma. Mendengar aduan istrinya, naga Raja marah dan akan menuntut balas kepada Ari Dharma.
c.       Relief dalam cerita Kunjarakarna
Relief kunjarakarna ini berada didinding bawah teras pertama dimulai dari sisi timur laut. Rangkaian relief cerita yang berlatar belakang agama Budha, yaitu menggambarkan riwayat Yaksa atau raksasa Kunjarakarna. Dilukiskan Yaksa Kunjarakarna menghadap kepada dewa tertinggi, Sang Wairocana untuk mempelajari agama Buda. Atas nasehatnya ia pergi keneraka, setelah tiba disana ia melihat siksaan-siksaan yang harus diderita oleh roh-roh makhluk yang berdosa di dunia. ia terkejut ketika melihat bahwa kancah penyiksaan berupa ketel besar itu dipersiapkan untuk menyiksa sahabatnya yang bernama Purnawijaya.
Dengan bergegas-gegas Kunjarakarna kembali kedunia untuk memberitahukan perjalanannya dineraka kepada Purnawijaya. Ia menasehati agar Purnawijaya ikut menghadap kepada Wairocana supaya mendapat ampunan atas kesesatannya dahulu. Setelah Purnawijaya menunjukkan bahwa ia betul-betul bertaubat maka diberilah ia keringanan hukuman oleh sang Wairocana. Permohonan Purnawijaya agar tidak mendapat siksa dineraka tidak dapat dipenuhi, ia tetap menjalani siksaan dineraka dengan waktu yang dikurangi, yang akhirnya hanya 40hari dalam penyiksaan. Setelah menghadap Wairucana, Purnawijaya pulang dan menemui istrinya yang bernama Kusumagandawati untuk berpesan ketika ia nanti meninggal mohon jasadnya agar ditunggui dan dijaga.
Konon Ketel yang mendidih guna untuk menyiksa Purnawijaya pecah sewaktu roh Purnawijaya menjalani siksaan selama 40hari. Bahkan berubah menjadi biduk yang berada ditengah telaga yang jernih airnya dan indah suasananya. Para pengawal neraka lapor kepada Yamadipati atas kejadian tersebut. Akhirnya Purnawijaya menceritakan kepada Yamadipati tentang pertemuannya dengan Wairucana, kemudian Yamadipati pergi menghadap Wairucana, dan mendapat penjelasan tentang Kunjarakarna dan Purnawijaya.
Setelah selesai menjalani siksaan di neraka, Purnawijaya pulang yang disambut oleh istrinya. Kemudian Purnawijaya berkata kepada istrinya, bahwa dia akan mengikuti jejak Kunjarakarna sebagai temannya pergi kegunung Semeru untuk bertapa menjadi orang suci agama Budha. Dan Sang Istripun mengikuti kepergiannya kepuncak Semeru.

d.      Relief dalam cerita Parthayadnya (Mahabrata)
Relief Parthayadnya ini dipahatkan pada dinding tengah. Jalan cerita relief ini diawali dari adegan Pandawa dan Kurawa sedang bermain judi Dadu. Duryudana putra Mahkota Hastina ingin sekali mendapatkan harta dan istana milik Pandawa. Duryudana memerintahkan pada Ayahnya yang bernama Drestarata untuk menyiapkan arena bermain Dadu di istana Hastinapura, setelah itu para Pandawa diundang untuk diajak bermain dadu di Hastinapura. Di Hastinapura mereka disambut dengan ramah oleh Duryudana.
Yudistira yang senang bermain dadu akhirnya kena rayuan Sengkuni, maka permainan dadu pun dimulai. Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta namun dia kalah. Kemudian dia mempertaruhkan hartanya lagi tapi kalah lagi. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipertaruhkan. Kemudian Yudistira mempertaruhkan Prajuritnya dan kalah lagi. Lalu dia mempertaruhkan kerajaannya, juga kalah. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi, Yudistira terpaksa mempertaruhkan Adik-adiknya. Berturut-turut dipertaruhkan yaitu Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima, namun kalah lagi. Akhirnya semua adiknya menjadi milik Doryudana. Yudistira sudah tidak memiliki apa-apa lagi, akhirnya nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi dia kalah sehingga dirinya menjadi milik Doryudana. Sengkuni yang berlidah tajam membujuk Yudistira untuk mempertaruhkan istrinya yang bernama Dropadi. Karena termakan oleh rayuan Sengkuni, akhirnya Yudistira mempertaruhkan juga istrinya.
Doryudana mengutus pamannya yang bernama Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak. Karena Widura menolak, Doryudana menyuruh pengawalnya. Setelah pengawal itu tiba ditempat Dropadi, Dropadi menolak tidak bersedia datang ke arena permainan dadu. Sesudah pengawalnya gagal membawa Dropadi, akhirnya Doryudana menyuruh adiknya yang bernama Dursasana untuk menjemput Dewi Dropadi. Dropadi yang menolak datang kearena main dadu, akhirnya diseret secara kasar oleh Dursasana. Dropadi menangis dan menjerit karena rambutnya dijambak dan ditarik lalu diseret sampai diarena main dadu.
Karena sudah kalah, Yudistira dan seluruh adik-adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan baju kebesarannya, namun Dropadi menolak. Dursasana yang berwatak kasar menarik kain/jarik yang dipakai Dropadi. Dropadi hanya bisa menangis dan berdoa kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna yang mendengar doa Dropadi secepatnya dia menolong dengan cara gaib. Sri Kresna mengulur kain/jarik yang dipakai Dropadi sehingga menjadi panjang dan tak habis-habis kain yang menutupi tubuh Dropadi yang terus ditarik oleh Dursasana. Namun, usaha Dursasana untuk menelanjangi Dropadi tidak berhasil.
Drestarata sebagai Ayah dari para Kurawa, perasaannya amat mengerti dengan firasat buruk yang akan menimpa pada anak-anaknya. Maka ia mengambil cara yang bijaksana, yaitu ia memanggil para Pandawa dan Dropadi untuk memohon maaf atas perilaku yang salah yang dilakukan anak-anaknya. Drestarata mengambil keputusan, bahwa para Pandawa dan Dropadi harus melakukan perasingan diri atau pembuangan dihutan selam 13 tahun. Dengan cara perasingan 12 tahun, dan satu tahun dalam peyamaran diri yang tidak bisa diketahui oleh para Kurawa, baru tahun yang ke 13 boleh kembali ke istana Indraprasta Amarta.
Atas nasihat pamannya yang bernama Widura, Arjuna memisahkan diri dengan saudara-saudaranya untuk pergi bertapa di Gunung Indrakila untuk mendapatkan senjata yang sakti.

e.       Relief dalam cerita Arjuna Wiwaha (Mahabrata)
Relief Arjunawiwaha dipahatkan pada teras ketiga dinding bawah. Didalam cerita pewayangan kisah Arjunawiwaha lebih dikenal dengan lakon “begawan mintaraga atau begawan ciptaning”. Cerita ini mulai muncul diIndonesia pada abad 11 yaitu pada masa kerajaan kediri dengan rajanya yang bernama Aerlangga. Karya sastra ini ditulis oleh Mpu kanwa dalam sebuah kitab “kakawin arjunawiwaha” pada tahun 1030M.
Dari relief ini menceritakan sang Arjuna sedang laku tapa di Gunung Indrakila. Lalu para Dewa menguji keteguhan Arjuna dalam laku tapanya dengan diutusnya tujuh bidadari untuk menggoda Arjuna. Arjuna teguh dalam tapanya tidak tergoda dengan godaan ketujuh bidadari itu.
Kemudian Bidadari itu pulang ke Khayangan dan melaporkan kegagalannya kepada Bathara Indra. Bathara Indra bermaksud menguji sendiri akan keteguhan laku tapa Arjuna dengan menyamar menjadi seorang Brahmana tua. Dalam tapanya Arjuna kedatangan seorang Brahmana, lalu Arjuna menyambutnya dengan penuh hormat. Mereka berdiskusi soal agama atau falsafi. Dan terpaparlah oleh mereka mengenai kekuasaan dan kenikmatan, dalam segala wujudnya termasuk kebahagiaan di Surga, juga kenikmatan dan kekuasaan di Dunia yang semu. Bila ingin mencapai kesempurnaan hidup harus berani menerobos wujud dan bayang-bayang yang menyesatkan. Sekali lagi Arjuna masih kokoh dalam laku tapa bratanya untuk memenuhi kewajibannya selaku Ksatriya dan membantu kakaknya Yudistira untuk merebut kembali Indraprasta.
Bhatara indra merasa senang mendengar penuturan Arjuna, lalu Bhatara Indra memberi tahu pada Arjuna, para dewa akan meminta bantuan kepadanya untuk mengalahkan para raksasa yang akan menyerang Kahyangan, setelah itu Bhatara Indra kembali ke Khayangan dan Arjuna melanjutkan tapa bratanya. Dalam cerita Arjunawiwaha berikutnya, yang terlihat pada relief didinding candi ini yaitu Raksasa yang bernama Niwatakawaca telah mendengar berita, bahwa seorang manusia yang teguh dalam laku tapa bratanya digunung Indrakila. Lalu dia menyuruh patihnya yang bernama Mamangmuka untuk menggagalkan laku tapa Arjuna tersebut. Dengan merubah wujud menjadi seekor babi hutan disekitar tempat Arjuna bertapa. Arjuna keluar melepaskan anak panahnya ke babi tersebut, namun ada seorang pemburu (Kirata) yang juga memanah pada babi itu.
Terjadilah perselisihan tentang siapa yang membunuh babi tersebut. Perselisihan memuncak dan terjadi perkelahian, Arjuna hampir kalah lalu memegang kaki lawannya, tetapi pada saat itu juga wujud si Pemburu (Kirata) hilang dan Dewa Ciwa akhirnya menampakkan diri. Arjuna memjuanya dengan suatu madah pujian yang mengungkapkan pengakuannya terhadap Dewa Ciwa  yang hadir dengan segala sesuatu. Dewa Ciwa kemudian menganugrahkan panah yang sangat sakti “pasopati” kepada Arjuna. Tengah Arjuna mempertimbangkan apakah pergi ke Kahyangan atau kembali ketempat saudara-saudaranya, tiba-tiba datang utusan Dewa Indra untuk menjemput Arjuna agar bersedia membantu para Dewa untuk membunuh raja Raksasa yang bernama Niwatakawaca.
Arjuna bersedia ke Kahyangan bertemu dengan Bhatara Indra. Arjuna dan Dewi Supraba ditugaskan oleh Bhatara Indra untuk mengetahui rahasia kesaktian Niwatakawaca. Arjuna dan Dewi Suparba pergi ke Himantaka, Dewi Supraba oleh bidadari yang lebih dahulu diserahkan kepada Niwatakacawa. Arjuna mengikutinya, dengan tipu daya dan kesaktiannya, bahwa diujung lidahnya merupakan kelemahan. Setelah mengerti rahasia kesaktian Niwatakawaca, Arjuna membuat huru-hara dengan menghancurkan pintu gerbang istana dari Niwatakawaca. Lalu Dewi Supraba segera memanfaatkan kesempatan itu untuk meninggalkan  Hiamntaka. Niwatakawaca kemudian mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Keindraan. Para Dewa juga sudah siap siaga untuk melawannya. Maka terjadilah perang besar, lalu Arjuna menyusup ketengah-tengah barisan untuk mencari kesempatan membunuh Niwatakawaca.
Akhirnya saat yang tepat untuk melepaskan anak panahnya Arjuna pun datang, akhirnya Niwatakawaca pun mati di medan perang. Arjuna pun diberikan penghargaan atas jasanya, yaitu menjadi raja di surga selama tujuh hari. Setelah selesai Arjuna lekas meminta izin kepada Dewa Indra untuk kembali ke dunia, Arjuna naik kereta antar Matali untuk turun kedunia.

f.       Relief dalam cerita Kresnayana (Mahabrata)
Relief Kresnayana ini di pahatkan pada teras ketiga dinding paling atas disisi kiri kanan pintu candi. Relief ini menceritakan bahwa Dewa Wisnu yang menjelma menjadi manusia dengan nama Kresna pada jaman Dwipara.
Ada suatu kerajaan yang bernama Dwarawati dengan rajanya bernama Kresna. Kresna yang selalu bermusuhan dengan raja Raksasa angkara murka yang bernama Kalayawana dari kerajaan Yawana Kresna tidak mau berhadapan langsung berperang dengan Raksasa itu. Kresna menggunakan siasat yaitu dengan berpura-pura terdesak dan lari kedalam goa di lereng gunung Himawan yang di dalamnya terdapat raja yang bernama Mucukunda sedang tidur selepas berperang melawan raksasa, sebagai hadiah telah membatu para dewa Mucukunda di beri kesaktian yaitu dari sorot matanya bisa mengeluarkan api. Didalam goa Kresna bersembunyi dibelakang raja Mucukunda. Tidak berapa lama Kalayawana dengan beserta bala tentaranya masuk kedalam goa. Tanpa sengaja Kalayawana menginjak Mucukunda yang di sangkanya Kresna. Mucukunda terbangun dan membakar Kalayawana berserta balatentaranya.

E.       Arca di Candi Jago (Jajaghu)
Jika dari reliefnya saja tidak bisa di bedakan sifat keagamaan candi ini, namun mencermati keberadaan arca-arcanya dapat diketahui dengan jelas sifat keagamaan bangunan candi ini, yaitu sifat bhudis.
Dari sisa reruntuhan candi ini dapat diperkirakan dahulunya di dalam bilik/kamar candi ada satu arca utama dan empat pengiringnya serta di kelilingi tiga belas arca Dhyani Bhuda. Arca utama berwujud Wisnuwardhana sebagai Bhudissatwa Awalokiteswara yang disebut “AMOGHAPASA”. Arca ini dipahatkan bertangan delapan dengan memegang simbol-simbol antaralain; Paca,  Aksamala, Pustaka, Tridanta, Padma, Kamandalu, sedangkan tangan kedua lainnya dalam sikap Wara Mudra dan Abaya Mudra. Sedang keempat arca yang menjadi pengiringnya sekarang di simpan di Museum Nasional Jakarta antara lain ; Shudanakumara, Syamatara, Hayagriwa, Bhrekuti. 
Selain arca Amoghapasa, dihalaman candi masih terdapat tiga buah arca Muka Kala (Muka Raksasa), yang dahulu posisinya ada di atas ambang pintu candi. Kala dicandi Jago ini bentuknya lebih detail dan menyeramkan serta memakai rahang bawah yang merupakan ciri Khas Kala pada candi periode Jawa Timur. Terdapat juga Padmasana/Padma Asana, yaitu suatu Singgasana (Umpak) arca yang berbentuk Teratai. 


Kesimpulan
Candi Jago terletak didusun jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, wilayah Kabupaten Malang. Nama atau sebutan candi ini adalah “jajaghu”. Arti dari jajaghu ialah penyebutan dari suatu nama tempat suci, atau dapat juga diartikan dengan istilah “Keagungan”. Candi ini dibangun oleh Raja Kertanegara untuk ayahnya, Raja Jaya Wisnuwardhana dari Singasari. Candi jago juga pernah mengalami pemugaran yang diperlebar dan diperindah pada masa kejayaan majapahit, sekitar tahun 1343 M. Candi jago mempunyai bentuk yang unik jika dibandingkan dengan bentuk bangunan candi-candi lain. Kaki candi terdiri dari tiga tingkat, tingkat pertama terdapat delapan anak tangga, tingkat kedua terdapat empat belas anak tangga, dan tingkat ketiga terdapat tujuh anak tangga. Terdapat pula relief-relief pada candi ini  yang bersifat Budhistisdan Hinduistis yang antara lain: Relief dalam cerita Binatang atau Tantri (Fabel), Ari Dharma atau Angling Dharma, Kunjarakarna, Parthayadnya, Arjuna Wiwaha, dan Kresnayana. Selain itu terdapat pula arca-arca di candi jago ini.

Sumber :
Soetarno R. 1987. Aneka Candi Kuno di Indonesia. Semarang : Dahara Prise Semarang

Suryadi._________.

1 Response to "Sejarah Indonesia Kuno"

Anonim mengatakan...

Bayar Pakai Dengan Pulsa AXIS XL TELKOMSEL

Anda Dapat Bermain Setiap Hari dan Selalu Menang Bersama Poker Vita

Capsa Susun, Bandar Poker, QQ Online , Adu Q, dan Bandar Q

Situs Situs Tersedia bebebagai jenis Permainan games online lain

Sabung Ayam S1288, CF88, SV388, Sportsbook, Casino Online,
Togel Online, Bola Tangkas Slots Games, Tembak Ikan, Casino




Terima semua BANK Nasional dan Daerah, OVO GOPAY

Whatsapp : 0812-222-2996

POKERVITA

Posting Komentar